Senin, 25 Oktober 2010

Epistemologi


EPISTIMOLOGI
Epistemologi berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu episteme yang berari knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti the study atau the teory of. Secara bahasa epistimologi diartikan studi atau teori tentang pengetahuan. Akan tetapi dalam filsafat, epistimologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas tentang asal-usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahuan.
Pada awalnya, pembahasan epistimologi terfokus pada sumber pengetahuan dan teori tentang kebenaran pengetahuan. Pada masa Plato dasar epistemologi hanya berasal dari ide (idealism), dan sering disebut dengan Rasionalism. Plato tidak percaya pada hal yang bersifat indrawi, karena sering berubah-ubah. Oleh karena itu plato lebih percaya pada dunia dibalik indrawi yaitu dunia ide. Epistimologi pada masa ini bersifat rasional spekulatif, maksudnya pemikiran ini hanya didasarkan pada keyakinan akan dunia ide, yaitu ide bawaan manusia, tidak bertumpu pada fakta empiris.
Pada masa Aristoteles, pengetahuan didasarkan pada proses pengamatan indrawi yang panjang yang disebut sebagai proses abstraksi.sering disebut dengan materialism, karena berdasar pada hal-hal yang bersifat materi saja. Ia menyadari akan ketidak kekalan pengamatan indrawi akan tetapi dengan penyelidikan yag terus menerus terhadap objek yang konkrit, akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dari objek tersebut.
Akan tetapi epistimologi yang didasarkan pada indra dan rasio sagatlah terbatas. Untuk mengatasinya maka diperlukkan perangkat yang ketiga yaitu intuisi, perangkat yang dapat mengakomodasi unsur rasa. Hal ini sependapat dengan yang dikatakan oleh al-Ghazali yaitu pengetahuan memang didapat oleh rasio dan indra, tapi yang paling tinggi adalah pengetahuan yang didapa oleh ksyf atau intuisi. Akan tetapi pendapat al-Ghazali ditentang oleh ibnu Tamimiyah, karena menurut beliau epistimologi semacam ini mempunyai andil besar dalam kejumudan umat Islam, sehingga Islam dapat tidak berkembang.
Perjalan epistimologi dari masa kemasa mengalami perubahan-perubahan. Pada masa Plato dan Aristoteles, epistemologinya bersifat rasional spekulatif, kemudian dikembangkan oleh al-Kindi, al- Farabi, dan Ibnu Sina menjadi rasional empirik, selanjutnya dikembangkan oleh al-Ghazali menjadi empirik transedental dan ahirnya sampai pada Ibn Rusyd menjadi empirik eksperimental.
Epistemologi Burhani
Epistemologi burhani menyandarkan sumber pengetahuannya pada realita baik dari alam, sosial, dan humanities. Kebenaran, menurut epistemologi ini didapat melalui metode penalaran, yang merupakan kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan, dan sebagainya. Fungsi akal lebih pada analisa dan menguji secara terus menerus kesimpulan sementara.
Epistemologi ini menekankan pada pemberian argumen dalam mencermati berbagai fenomena empirik, sekaligus memberikan alternatif pemecahan. Yang diperlukan dalam epistemologi ini ialah nalar ktitis dan mampu membuat abstraksi dari berbagai fenomena yang dibaca. Epistemologi ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang digunakan, yaitu idrak al-asbab, prinsip kausalitas; al-hatmiyah (kepastian). Prinsip tersebut berpandangan bahwa apa yang terjadi dalam realitas empirik dan fenomena alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Untuk memahaminya diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan akibatnya sekaligus, karena akibat yang sama belum tentu penyebabnya sama, begitu pula sebaliknya.
Epistemologi Irfani
Kata irfani berasal dari kata arafa yang artinya pengetahuan, ilmu dan hikmah. Kemudian kata itu lebih dikenal sebagai marifah dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Menurut bangsa Irfani atau Irfaniyyun, pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional seperti halnya Burhani dan Bayani, tetapi dapat diketahui melalui intuisi atau pengalaman langsung dengan Tuhan. Agar dapat mencapai hal tersebut, seseorang harus mampu melepaskan diri dari segala ikatan yang membelenggu, seperti akal, indera dan semua yang ada di dunia, yang merupakan bagian dari alam. Dan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah melalui nafs, karena nafs ini adalah bagian dari Tuhan yang berasal dari alam keabadian yang terpasung kealam dunia. Ia akan kembali kepada Tuhan apabila telah terbebas dari segala dosa atau telah fitrah.
Dalam epistemologi Irfani menggunakan konsep al-zahir-al batin. Maksudnya, kaum Irfaniyyun berusaha menjadikan dhahir teks sebagai batin, dhahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Takwil sendiri maksudnya adalah penggabungan ungkapan dari dhahir ke batin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk batin). Misalnya, Ibn Arabi mamaknai dhahir batin dalam al Qur’an, Al Dhahir adalah penurunan kitab terhadap para nabi dengan bahasa kaumnya, sedangkan Al Batin adalah pemahaman terhadap hati kaum irfani.
Sementara itu, irfani menggunakan orientasi al wilayah-al nubuwah. Al wilayah sebagai representasi dari yang batin dan al nubuwah sebagai representasi yang lahir. Dan setelah dicermati, dapat diambil kesimpulan bahwa arah epistemologi irfani adalah al wilayah-al nubuwah, sebagai timbangan atas pasangan al asl-al far dalam epistemologi bayani. Sedangkan konsepnya adalah al zahir-al batin sebagai timbangan atas pasangan al lafz-al ma’na dalam epistemologi bayani.
Epistemologi Bayani
Sumber epistimologi ini adalah nas atau teks. Corak berfikir ini mengandalkan pada teks, tidak hanya wahyu melainkan juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan lughawiyah. Prinsip yang dipegang oleh corak bayani adalah infisial (diskontinu) atau atomistic, tajwiz (tidak ada hokum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Kerangka pikir yang digunakan cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks. Dalam model piker bayani, akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankanfungsi justifikatif, repetitif, dan taqlidy. Otoritas pada teks, sehingga hasil pemikiran apapun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karenaitu, dalam penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat dialektik. Yang dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara teks atau nas dengan realitas.