Senin, 07 Februari 2011

pendidikan persfektif Ghazali

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
AL GHAZALI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen: Prof. Dr. Sutrisno

Disusun oleh:
1. Novem Nugroho (08410029)
2. Hafif Wuryantoko (08410126)
3. Neli Magfiroh (08410198)
4. Yusmaniar Nur A (08410207)
5. Shifa Rafika (09410025)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Imam al Ghazali sangat besar perhatiannya terhadap penyebaran ilmu dan pengajaran, karena bagi beliau ilmu dan pengajaran itu adalah sarana bagi kepada Allah SWT. Dengan melakukan studi tentang Ghazali, kiranya akan menjadi jelas bahwa pendapatnya dalam pendidikan saling mengisi dengan falsafah agama dan tasawwufnya. Ia telah memberi batasan yang amat jelas mengenai sasaran-sasaran pengajaran sesuai dengan falsafah agama yang dianutnya. Beliau juga menjelaskan ilmu-ilmu yang sepatutnya dipelajari oleh anak-anak yang masih dalam perkembangannya agar ia bisa sampai kepada sasaran tersebut. Beliau juga mengatakan dengan terus terang mengenai bagaimana seharusnya hubungan antara tenaga pengajar dan muridnya. Beliau jelaskan juga prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh guru di saat menunaikan tugasnya, disamping beliau telah membuat garis terang tentang metode pengajaran. Dan dengan demikian, Al Ghazali telah menyusun aturan pendidikan yang komplit, di bawah kendali tasawufnya. Dan makalah ini akan menjelaskan tentang pemikiran pendidikan ala Al Ghazali.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al Ghazali
Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, lahir di Thusia, sebuah kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya berprofesi sebagai pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al Ghazali memiliki satu orang saudara, dan ketika ayahnya meninggal beliau berwasiat kepada sahabatnya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya, sekalipun menghabiskan harta warisannya. Sahabat itu segera melaksanakan wasiat ayah ghazali. Namun, warisan ayah al ghazali akhirnya habis dan mereka disuruh untuk mencari ilmu semampu-mampunya dengan biaya sendiri.
Imam Al Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan pencari hakikat kebenaran, sekalipun ia dilanda duka dan nestapa. Untaian kata-kata berikut ini melukiskan keadaan pribadinya,
“kehausan untuk mencari hakikat kebenaran sesuatu sebagai habit dan favorit saya sejak kecil dan masa mudaku adalah merupakan insting dan bakat yang dicampakkan Allah SWT, pada tempramen saya, bukan merupakan usaha dan rekaan saja”1
Berbagai macam pendidikan telah ia lalui, diantaranya beliau belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar Radzikani, Al Juwaini, Imam Al Haramain, dsb. Beliau sering mengikuti diskusi-diskusi bersama para ulama dan intelektual, dan berhasil meraih kemenangan. Hal itu disebabkan karena ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituannya dalam berargumentasi. Dan atas kehebatannya itu akhirnya beliau diangkat sebagai guru besar di Baghdad. Berbagai macam kitab telah beliau karang, diantaranya dalam kelompok filsafat dan ilmu kalam, yaitu Maqashid al Falasifah, tahafut al falasifah, al iqtishod fi al I’tiqod, dll. Kelompok ilmu fiqh dan ushul fiqh, al basith, al wasith, al wajiz, dll. Kelompok ilmu akhlaq dan tasawuf, Ihya ‘ulumuddin, mizanul amal, kimiyaus sa’adah,dll. Kelompok ilmu tafsir, yaaquutut ta’wil fi tafsirit tanzil (40 jus) dan jawahir al Quran.
Setelah empat tahun mengajar di Baghdad, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar disana. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Setelah beliau menuju ke Syam, hidup dalam Jami’ Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri mwnjauhi barang-barang yang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup (zuhud), mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama.
Imam Ghazali telah mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof yang ahli tasawuf pertama kali dan seorang pembela agama islam yang besar serta salah seorang pemimpin yang menonjol do zamannya.

B. PEMIKIRAN AL GHAZALI
1. Pendidik
Ciri-ciri pendidik menurut al Ghazali adalah:
a) Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b) Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Nabi Muhammad saw. Sedangkan upahnya adalah terbentuknya anak didik yang mangamalkan ilmu yang diajarkannya.
c) Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri ada Alla swt.
d) Guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang akan membawa kebahagiaan hidup dunia akhirat.
e) Dihadapan muridnya guru harus memberikan suri tauladan yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan akhlaqul karimah lainnya.
f) Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan kemampuan/daya tangkap anak didik.
g) Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya.
h) Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya sehingga disamping tidak salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang baik dan akrab antara guru dan anak didik.
i) Guru harus dapat menanamkan keimanan dalam hati anak didik, sehingga kal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.2
Keduduka guru seperti yang dikemukakan ghazali diatas merupakan paradigma perspektif guru yang nampak dari sudut profesi, sedangkan aspek keahlian dan penguasaan materi tidak dicantumkan. Hal ini dikarenakan, cara pandang yang digunakan ghazali adalah tasawuf yang menempatkan guru sebagai figur sentral, idola, bahkan memiliki kekuatan spiritual, dimana peserta didik sangat bergantung padanya. Dengan posisi seperti ini, nampak guru memegang peranan penting dalam pendidikan. Berbeda dengan zaman sekarang yang memposisikan guru bukan sebagai satu-satunya agen ilmu pengetahuan dan informasi, karena hal ini dapat mereka peroleh melalui peralatan teknologi. Guru pada masa sekarang lebih dilihat sebagai fasilitator, pemandu atau narasumber yang mengarahkan jalannya proses belajar mengajar. Adapun guru yang idela pada masa sekarang ini adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian seperti yang dikemukakan al Ghazali, persyaratan akademis atau keilmuan dan profesionalitas.
2. Anak Didik
Al ghazali mempergunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti Ash Shobiy (kanak-kanak), al Mutaallim (pelajar), dan tholibul ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Oleh kerena itu, istilah anak didik disini dapat diartikan, anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan (dalam arti yang luas).
Anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, hanya saja peran orangtualah yang menentukan jalan mana yang akan mereka anut, seperti al hadits yang berbunyi “Nabi Muhammad saw telah bersabda: setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orangtuanyayang menjadikan ia yahudi, nasrani ataupun majusi (HR. Muttafaq ‘alaih dari abu Hurairah). Selanjutnya Al Ghazali mengatakan bahwa “manusia itu diciptakan Allah swt dalam derajat pertengahan antara binatang dan malaikat. Dan manusia memiliki sejumlah potensi dan sifat-sifat”. Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak lahir manusia telah memiliki potensi-potensi dan sifat-sifat tidak terhitung banyaknya hal ini masih berupa kemungkinan-kemungkinan dalam pengembangannyakarena semua itu masih terpendam.
Al Ghazali juga menjelaskan pengaruh faktor endogen dan eksogen, yang diumpamakan dengan bibit apel dan kurma: “sebenarnya biji kurma itu bukanlah pohon apel atau pohon kurma, akan tetapi biji itu dijadikan suatu bentuk yang mungkin menjadi pohon kurma, apabila diusahakan pemeliharaan padanya. Dan biji kurma itu tidak akan menjadi pohon apel yang sebenarnya, walaupun dengan pemeliharaan”3
Dari perumpamaan di atas, jelaslah bahwa biji kurma itu akan menjadi pohon kurma dan biji apel akan menjadi pohon apel, apabila ada lingkungan atau manusia yang menanam,mengawasi,memelihara dan menyuburkannya. Dalam artian apabila manusia sudah memiliki potensi dari lahir, maka lingkunganlah yang akan membentuk dan membuat dia seperti apa.
3. Tujuan Pendidikan
Al Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya, yang disusun sebagai berikut:
Tujuan memelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan atau penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya,oleh karena itu tujuan memelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri.” (Al Ghazali, ihya Ulumuddin, jus 1, 13)4
Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak
Al Ghazali mengatakan “tujuan murid dalam memelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya” (al ghazali, mizanul amal, 1961, I, 361)5
Dari pernyataan diatas telah jelas, bahwa al ghazali mengendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlaq dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlaq adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat, maupun suatu Negara. Dan setiap ilmu dan amal mesti dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Tujuan pendidikan adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
Al Ghazali mengatakan bahwa “tujuan manusia itu tergabung dalam agama dan dunia. Agama tidak akan teratur melainkan dengan teraturnya dunia, dan dunia adalah tempat menyebar benih bagi akhirat dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt bagi orang yang inginmengambilnya dan menjadikan alat dan tempat tinggal.”6
Beliau tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata,tetapi beliau menganjurkan untkn berusaha dan ekerja bagi keduanya, tanpa meremehkan salah satunya.

4. Kurikulum
Secara tradisional, kurikulum bererti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pandangan al Ghazali tentang kurikulum deapat dipahamidari pendangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit.
Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia ataupun di akhirat, misalnya ilmu sihir,nujum maupun perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya Tuhan. Oleh karena itu,ilmu ini harus dijauhi.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit.
c. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa sesorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
d. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa dalamkegoncangan iman dan ilhad (meniadakan tuhan) seperti ilmu filsafat.
Sejalan dengan itu, al ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di Sekolah, diantaranya:
Ilmu al Quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadits dan tafsir.
Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj, serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmi politik.
Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.7
Jika diamati dengan saksama, terlihat al ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 pendekatan. Pertama, pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu kepada yang wajib dan fardhu kifayah. Kedua, pendekatan tasawuf (akhlaq) yang melahirkan pembagian ilmu menjadi terpuji dan tercela. Hal ini akan semakin jelas jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan, yaitu mendekatkan diri pada Allah SWT.
5. Metode Pengajaran
Prinsip metodologi pendidikan modern selalu menunjukkan aspek berganda. Satu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek lainnya menunjukkan aspek guru mengajar dan mendidik. Oleh kerena itu,pembahasannya pun meliputi asas-asas belajar, asas-asas mengajar dan asas-asas mendidik.
a. Asas-asas metode belajar
Memusatkan perhatian sepenuhnya
Perhatian sangat penting dalam belajar, karena anak yang mencurahkan segala tenaga jiwa yang ditunjukkan pada satu obyek, yaitu pelajaran, maka ia akan mengetahui dan memahami pelajarannya secara baik dan sempurna.
Mengetahui tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari
Apabila pelajar memahami tujuan yang jelas dalam proses belajarnya, maka ia akan senang dan sungguh-sungguh mencapai tujuan tersebut, karena ia mempunyai keinginan yang kuat dan kemauan yang keras untuk belajar, sehingga mereka dapat mencapai khakikat kebenaran ilmiah pada tingkat berikutnya.
Mempelajari ilmu pengetahuan dari yang sederhana kepada yang kompleks
Tujuannya, agar ia meguasai ilmu dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak menggoyahkan pikirannya karena ia telah menguasai ilmu-ilmu dasar.
Memelajari ilmu pengetahuan dengan memperhatikan sistematika pembahasannya
Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menimbulkan suatu proses pertumbuhan akal pikiran dan perkembangan mental yang baik.

b. Asas-asas metode mengajar
Memperhatikan tingkat daya pikir anak
Yaitu menempatkan secara tepat ilmu pengetahuan sesuai lemampuan akal pikirannya serta memperhatikan tingkat kecerdasan dan pengetahuan mereka, sehingga mereka mudah menguasai dan tidak kesulitan.
Menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya
Yang dimaksudkan prinsip ini adalah, perbedaan mengajar bagi anak yang kurang pintar dan anak yang pintar. Anak yang kurang pintar harus diterangkan dengan berulang-ulang, yang jelas dan mudah sesuai dengan tingkat pemahamannya, agar mereka tetap semangat dan optimis menuntut ilmu. Sebaliknya, anak yang cerdas cukup dengan penjelasan sekali, singkat dan ringkas saja ia telah memahaminya. Oleh Karena itu prinsip ini sangat penting, dan telah banyak menjadi anutan dan diterapkan dalam dunia pendidikan modern seperti penerapan system pengajaran dengan modul.
Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang konkret ke yang abstrak.
Mengajarkan ilmu pengetahuan haruslah dari yang telah dibekali ke yang belum dibekali, dari yang mudah ke yang sulit, dari dasar ke yang barcabang dan dari konkret ke abstrak, apabila tidak demikian, otak anak akan dangkal, lemah pikiran dan menguburkan pemahamannya.
Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur
Sang guru hendaknya menjelaskan setingkat demi setingkat dengan penjelasan berikutnya. Adapun langkah-langkah pengajaran supaya dengan mudah diterima anak didik:
a) Jika pengajaran dimulai awal benar, sebelum jiwa rusak.
b) Jika jiwa telah sedia untuk mennerimanya.
c) Jika dimulai dari yang umum ke yang khusus.
d) Jika dimulai dari yang mudah ke yang sukar.
e) Jika dimulai siswa tidak dibebani dengan mata pelajarna yang banyak.
f) Jika diberikan berangsur-angsur maju secara perlahan dalam setiap hal.
g) Jika kecerdasan tidak dipaksakan untuk suatu yang belum mengarah kepada kecenderungan, dan harus sesuai dengan umur dan metode yang benar.
h) Jika segala sesuatu diajarkan dengan media pelajaran
i) Jika penggunaan segala sesuatu pengajaran berkesinambungan.
j) Jika segala sesuatu diajarkan dengan satu dan metode yang sama. (Robert ulich, History of Educational Thought, 1950, 194)8
c. Asas asas metode mendidik
Memberikan latihan-latihan
“ketahuilah bahwa metode dalam melatih anak-anak adalah hal yang sangat penting dan perlu sekali”
Metode latihan harus diberikan kepada anak sedini mungkin, karena hal ini akan memberikan pengaruh positif dalam perkembangan anak selanjutnya. Yaitu dengan pembiasaan, disiplin dan contoh-contoh (CBSA)
Memberikan pengertian-pengertian dan nasihat-nasihat
“apabila pertumbuhan anak itu baik, maka nasihat-nasihat itu akan meresap, berpengaruh, berguna dan teguh di hatinya seperti teguhnya ukiran pada batu, pada masa dewasanya nanti”
Melindungi anak dari pergaulan yang buruk
“dan pokok dari pendidikan anak adalah menjaga dan melindunginya dari pergaulan pergaulan yang buruk”
Al ghazali sangat memperhatikan pergaulan anak-anak dengan serius karena pergaulan itu mempunyai pengaruh yang sangat dominan pada perkembangan anak. Ia jubga menganjurkan agar setiap guru mampu menyelidiki perbuatan anak didiknya dengan sungguh-sungguh.













BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, lahir di Thusia, sebuah kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H atau 1058 M. beliau adalah orang yang sangat mengagumi ilmu-ilmu terbukti dengan karya-karyanya filsafat dan ilmu kalam, yaitu Maqashid al Falasifah, tahafut al falasifah, al iqtishod fi al I’tiqod, dll. Kelompok ilmu fiqh dan ushul fiqh, al basith, al wasith, al wajiz, dll. Kelompok ilmu akhlaq dan tasawuf, Ihya ‘ulumuddin, mizanul amal, kimiyaus sa’adah,dll. Kelompok ilmu tafsir, yaaquutut ta’wil fi tafsirit tanzil (40 jus) dan jawahir al Quran.
Adapun pemikiran-pemikirannya bahwa guru memegang peranan penting dalam pendidikan dan guru yang ideal pada masa sekarang ini adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian seperti yang dikemukakan al Ghazali, persyaratan akademis atau keilmuan dan profesionalitas.
Selanjutnya Al Ghazali mengatakan bahwa “manusia itu diciptakan Allah swt dalam derajat pertengahan antara binatang dan malaikat. Dan manusia memiliki sejumlah potensi dan sifat-sifat”. Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak lahir manusia telah memiliki potensi-potensi dan sifat-sifat tidak terhitung banyaknya hal ini masih berupa kemungkinan-kemungkinan dalam pengembangannyakarena semua itu masih terpendam.
Konsep pendidikan al ghazali tersebut merupakan aplikasi dan response dari jawaban terhadap permasalahan social kemasyarakatan yang dihadapinya sat itu, konsep tersebut jika diaplikasikan dimasa sekarang nampak sebagian masih ada yang sesuai dan tidak/perlu disempurnakan. Itulah watak hasil pemikiran manusia yang selalu menuntut kesempurnaan.



DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Aliran-aliran dalam Pendidikan.1993.Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Sistim Pendidikan Versi Al Ghazali.1986.Bandung: PT Alma’arif Bandung
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1.1997.Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Zainuddin. Seluk Beluk Pendidikan dari Al Ghazali.1991.Jakarta: Bumi Aksara

Senin, 13 Desember 2010

tradisi syuro-an, mendidikkah?

Dari hasil diskusi kami dapat disimpulkan bahwa suatu peristiwa dapat mendidik jika mempunyai syarat:
1. Peristiwa tersebut dapat mendatangkan ibrah (hikmah)
2. Mengubah tingkah laku pendidik yang buruk hingga menjadi baik
3. Bisa membawa perubahan di bidang lain, tidak hanya pendidik tetapi juga lingkungan sekitar
4. Dapat memecahkan masalah

Jika dilihat dari prinsip Tiga Fngsi Pendidikan, maka pendidikan yang sebenarnya adalah yang berdasar pada tiga teori, yaitu:
1. Teori Sumber Daya Manusia
Maksudnya adalah pendidikan itu harus mengembangkan potensi manusia. Dalam teri ini terdapat (a) Progresivisme, yaitu mengembangkan, lebih mengutamakan pada masa depan daripada masa lalu. (b) Liberalisme, yaitu sistem perasaan yang menumbuhkan perangai yang menerima dan suka bekerja secara teratur dengan perubahan yang meningkat dengan bebas dan tidak terikat.
2. Teori Revitalisasi budaya
Pendidikan pada hakikatnya adalah yang mentrasmisikan budaya dari generasi ke generasi dan mengembangkan nilai dan norma kebudayaan yang telah ada. Teori ini ada dua macam, yaitu (a) Esensialisme, maksudnya ada periode yang dianggap paling penting, pendidikan harus bersendikan norma dan nilai yang teruji oleh waktu. (b) Perenialisme, maksudnya pendidikan mengikuti sejarah, setiap episode mempunyai peran penting atau hal yang bermakna.
3. Teori Rekonstruksionalisme
Teori ini menaruh perhatian terhadap pendidikan kaitannya dengan masyarakat dan memandang posisi pendidikan itu adalah institusi sosial dan sekolah pun merupakan bagian dari masyarakat.

Acara Syuro-an menurut kelompok kami adalah kegiatan yang mendidik, karena
1. Menjaga dan melestarikan budaya yang ada
2. Menumbuhkan sikap persatuan dan persaudaraan
3. Akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan jawa yang bagus untuk dilestarikan
4. Peristiwa tersebut dapat mendatangkan ibrah (hikmah)

Senin, 25 Oktober 2010

Epistemologi


EPISTIMOLOGI
Epistemologi berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu episteme yang berari knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti the study atau the teory of. Secara bahasa epistimologi diartikan studi atau teori tentang pengetahuan. Akan tetapi dalam filsafat, epistimologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas tentang asal-usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahuan.
Pada awalnya, pembahasan epistimologi terfokus pada sumber pengetahuan dan teori tentang kebenaran pengetahuan. Pada masa Plato dasar epistemologi hanya berasal dari ide (idealism), dan sering disebut dengan Rasionalism. Plato tidak percaya pada hal yang bersifat indrawi, karena sering berubah-ubah. Oleh karena itu plato lebih percaya pada dunia dibalik indrawi yaitu dunia ide. Epistimologi pada masa ini bersifat rasional spekulatif, maksudnya pemikiran ini hanya didasarkan pada keyakinan akan dunia ide, yaitu ide bawaan manusia, tidak bertumpu pada fakta empiris.
Pada masa Aristoteles, pengetahuan didasarkan pada proses pengamatan indrawi yang panjang yang disebut sebagai proses abstraksi.sering disebut dengan materialism, karena berdasar pada hal-hal yang bersifat materi saja. Ia menyadari akan ketidak kekalan pengamatan indrawi akan tetapi dengan penyelidikan yag terus menerus terhadap objek yang konkrit, akal akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dari objek tersebut.
Akan tetapi epistimologi yang didasarkan pada indra dan rasio sagatlah terbatas. Untuk mengatasinya maka diperlukkan perangkat yang ketiga yaitu intuisi, perangkat yang dapat mengakomodasi unsur rasa. Hal ini sependapat dengan yang dikatakan oleh al-Ghazali yaitu pengetahuan memang didapat oleh rasio dan indra, tapi yang paling tinggi adalah pengetahuan yang didapa oleh ksyf atau intuisi. Akan tetapi pendapat al-Ghazali ditentang oleh ibnu Tamimiyah, karena menurut beliau epistimologi semacam ini mempunyai andil besar dalam kejumudan umat Islam, sehingga Islam dapat tidak berkembang.
Perjalan epistimologi dari masa kemasa mengalami perubahan-perubahan. Pada masa Plato dan Aristoteles, epistemologinya bersifat rasional spekulatif, kemudian dikembangkan oleh al-Kindi, al- Farabi, dan Ibnu Sina menjadi rasional empirik, selanjutnya dikembangkan oleh al-Ghazali menjadi empirik transedental dan ahirnya sampai pada Ibn Rusyd menjadi empirik eksperimental.
Epistemologi Burhani
Epistemologi burhani menyandarkan sumber pengetahuannya pada realita baik dari alam, sosial, dan humanities. Kebenaran, menurut epistemologi ini didapat melalui metode penalaran, yang merupakan kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium, proses penelitian lapangan, dan sebagainya. Fungsi akal lebih pada analisa dan menguji secara terus menerus kesimpulan sementara.
Epistemologi ini menekankan pada pemberian argumen dalam mencermati berbagai fenomena empirik, sekaligus memberikan alternatif pemecahan. Yang diperlukan dalam epistemologi ini ialah nalar ktitis dan mampu membuat abstraksi dari berbagai fenomena yang dibaca. Epistemologi ini berpangkal dari beberapa prinsip dasar yang digunakan, yaitu idrak al-asbab, prinsip kausalitas; al-hatmiyah (kepastian). Prinsip tersebut berpandangan bahwa apa yang terjadi dalam realitas empirik dan fenomena alam pada dasarnya berlaku hukum sebab akibat. Untuk memahaminya diperlukan upaya untuk mencari akar penyebab dengan mengkaji penyebab dan akibatnya sekaligus, karena akibat yang sama belum tentu penyebabnya sama, begitu pula sebaliknya.
Epistemologi Irfani
Kata irfani berasal dari kata arafa yang artinya pengetahuan, ilmu dan hikmah. Kemudian kata itu lebih dikenal sebagai marifah dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Menurut bangsa Irfani atau Irfaniyyun, pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional seperti halnya Burhani dan Bayani, tetapi dapat diketahui melalui intuisi atau pengalaman langsung dengan Tuhan. Agar dapat mencapai hal tersebut, seseorang harus mampu melepaskan diri dari segala ikatan yang membelenggu, seperti akal, indera dan semua yang ada di dunia, yang merupakan bagian dari alam. Dan satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah melalui nafs, karena nafs ini adalah bagian dari Tuhan yang berasal dari alam keabadian yang terpasung kealam dunia. Ia akan kembali kepada Tuhan apabila telah terbebas dari segala dosa atau telah fitrah.
Dalam epistemologi Irfani menggunakan konsep al-zahir-al batin. Maksudnya, kaum Irfaniyyun berusaha menjadikan dhahir teks sebagai batin, dhahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Takwil sendiri maksudnya adalah penggabungan ungkapan dari dhahir ke batin dengan berpedoman pada isyarat (petunjuk batin). Misalnya, Ibn Arabi mamaknai dhahir batin dalam al Qur’an, Al Dhahir adalah penurunan kitab terhadap para nabi dengan bahasa kaumnya, sedangkan Al Batin adalah pemahaman terhadap hati kaum irfani.
Sementara itu, irfani menggunakan orientasi al wilayah-al nubuwah. Al wilayah sebagai representasi dari yang batin dan al nubuwah sebagai representasi yang lahir. Dan setelah dicermati, dapat diambil kesimpulan bahwa arah epistemologi irfani adalah al wilayah-al nubuwah, sebagai timbangan atas pasangan al asl-al far dalam epistemologi bayani. Sedangkan konsepnya adalah al zahir-al batin sebagai timbangan atas pasangan al lafz-al ma’na dalam epistemologi bayani.
Epistemologi Bayani
Sumber epistimologi ini adalah nas atau teks. Corak berfikir ini mengandalkan pada teks, tidak hanya wahyu melainkan juga hasil pemikiran keagamaan yang ditulis oleh ulama terdahulu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan lughawiyah. Prinsip yang dipegang oleh corak bayani adalah infisial (diskontinu) atau atomistic, tajwiz (tidak ada hokum kausalitas), dan muqarabah (keserupaan atau kedekatan dengan teks).
Kerangka pikir yang digunakan cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks. Dalam model piker bayani, akal berfungsi sebagai pengekang atau pengatur hawa nafsu. Akal cenderung menjalankanfungsi justifikatif, repetitif, dan taqlidy. Otoritas pada teks, sehingga hasil pemikiran apapun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karenaitu, dalam penalaran ini jenis argumen yang dibuat lebih bersifat dialektik. Yang dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau kedekatan antara teks atau nas dengan realitas.